TUGAS SOFKIL TENTANG KASUS PEMBUNUHAN MIRNA




TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN  TENTANG KASUS KEMATIAN WAYAN MIRNA SALIHIN.

Nama      : ALLAN DARMA SAPUTRA
Kelas      : 2ib05
Npm        : 10414720

Setelah hampir 2 pekan bungkam soal kematian Wayan Mirna Salihin,  Jessica Kumala Wongso akhirnya angkat suara. Melalui Penasihat Hukumnya Yudi Wibowo, Jessica membeberkan kronologi ngopi maut yang dialami Mirna dan Hanny.
Yudi mengatakan, awalnya Jessica yang berinisiatif mengajak Mirna ngopi, untuk membalas kebaikan Mirna yang suka mentraktir Jessica selama di Australia.

"Terus mereka whatsapp-an sama (teman) 1 lagi, 3 orang ini (yang whatsapp). Yang 1 ini saya enggak tahu. Bahwa mereka memilih tempat, itu berunding. Karena Jessica enggak tahu tempat di Indonesia. Ada buktinya di polisi. Terus ada 2 (pilihan), kafe di Plaza Indonesia, satu lagi Olivier Cafe," kata Yudi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (19/1/2016).

Saat itu, kata Yudi, Mirna mengatakan kepada Jessica biasanya ia ngopi di Olivier Cafe. Akhirnya mereka sepakat bertemu di sana. Jessica yang mengetahui akan tiba duluan pun berinisiatif memesankan minuman dan bertanya kepada Mirna.

"Mirna bilang biasa ngopi di Olivier, (sepakat) di Oliver saja. Terus ditanya sama Jessica, 'apa yang kamu pesen?'. Mirna jawab, 'Vietnam Coffee'. Jessica jawab lagi, 'Oh kalau gitu aku traktir ya?'. Mirna jawab 'Oke silakan'. Di transkrip gitu," ujar Yudi menirukan percakapan Jessica dan Mirna di whatsapp.

Yudi mengatakan, Jessica tergolong 'anak mami', sehingga saat hendak bertemu Mirna, ia diantar ayahnya sekitar pukul 14.00 WIB.
Sesampainya di sana, Jessica lalu memesan meja kepada pihak restoran. Ia pun berjalan-jalan di mal hingga sekitar pukul 16.00 atau 17.00 WIB. Setelah waktu janjian mereka akan tiba, Jessica pun pergi ke toko membeli sabun, lalu turun ke Olivier Cafe.

"Setelah jalan-jalan, Jessica beli sabun itu. Buat kenang-kenangan (ke Mirna). Temennya yang satu itu enggak datang. Harusnya 4 orang, yang 1 enggak datang karena kerja. Ya tinggal 3 orang ini. Sudah jamnya, Jessica turun ke kafe itu dan ditunjukkannya meja itu," kata Yudi.

Jessica Kumala Wongso. (Audrey Santoso/Liputan6.com) Selanjutnya, Jessica memesan minuman untuk dirinya, Hanny, dan Mirna ke meja bartender dan langsung membayar tagihan minuman, "Seperti orang pesen fast food itu, lho. Dibayar, terus disajikan."

Yudi menyampaikan, klien yang juga sepupunya itu sempat menunggu 15 sampai 20 menit hingga akhirnya Mirna dan Hanny datang. Mirna lalu menyeruput es kopi Vietnam itu dan komplain. Mirna mengatakan kopinya tidak enak dan menyuruh Hanny dan Jessica menciumnya.

"Hanny enggak percaya, Hanny cium terus minum seteguk. Setelah Hanny mencicipi, mereka mengobrol-obrol dan masih sempat memesan makanan lain. Tahu-tahu Mirna menyuruh Jessica minta air, tenggorokannya kering, airnya belum datang mirna ambruk," pungkas Yudi.

Berdasarkan cerita versinya itu, Yudi ragu jika benar kopi tersebut mengandung sianida. "Mengapa hanya Mirna yang keracunan, sementara  Hanny yang meminumnya baik-baik saja. Berarti kan bukan kopinya. Kalau ini sianida, seharusnya ketika dia minum  mulutnya terbakar atau melepuh," pungkas Yudi.

Setelah Jessica menjadi tersangka pembunuh Mirna
Hani menjadi satu-satunya saksi yang berada semeja dengan mendiang saat kopi bercampur sianida diseruput sang sahabat dan menjadi penyebab ajalnya.
Informasi mengenai kedekatan Hani dengan Jessica diperoleh dari ayahanda Mirna, Edi Dermawan Salihin. Seturut penuturannya, "Hani itu lebih kenal Jessica dibandingkan dengan Mirna. Dia kenal (Jessica) duluan tuh, lalu Mirna datang, kemudian berteman."
Dalam urusan sikap pascainsiden peracunan, demikian pengakuan Edi, Hani pun lebih menunjukkan simpati kepada keluarga korban. Ia menyambangi kediaman orang tua Mirna dan menyampaikan belasungkawa. Sebaliknya, kata Edi, Jessica tidak mendatangi keluarga Mirna dengan dalih sakit.
Pada Rabu (3/2), Hani diperiksa sebagai saksi selama 12 jam. Interogasi terhadapnya berlangsung hingga pukul 00:05 WIB, Kamis (4/2). Di hadapan penyidik, Hani harus menjawab 47 pertanyaan.
"Saya lelah sekali," ujarnya.
Beberapa hari setelahnya, yakni pada 7 Februari, Hani hadir dalam rekonstruksi pembunuhan Mirna di Olivier bersama Jessica. Pengacara tersangka, Yudi Wibowo, mengatakan bahwa keterangan Hani dalam reka adegan tidak memberatkan kliennya karena meniru fragmen kejadian sesuai sejumlah fakta dan keterangan.
Pada kesempatan itu, Hani mengikuti dua versi rekonstruksi yang bersandar pada BAP (berita acara pemeriksaan) ganda, yakni versi Jessica dan versi tambahan rekaman kamera pengawas. Jessica cuma menuruti yang pertama.
Di salah satu potongan adegan, terlihat Hani memeragakan proses mencecap kopi beracun Mirna. Yudi mempertanyakan alasan Hani tidak meninggal setelah mencicip minuman tersebut.
Padahal, sudah sejak lama pihak kepolisian menjelaskan bahwa Hani tidak meminum dan menelan cairan kopi bersianida.
"Nyicip itu, bukan disedot ya. Kalau diseruput, ya, mati. Itu dijilat, kemudian dilepeh lagi," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya, Krishna Murti, pada Januari lalu dikutip Tempo.
Rekonstruksi versi dua mengutip 65 adegan, sementara rekonstruksi versi Jessica hanya menyaran 56 adegan.
Polisi menyatakan keterangan yang disampaikan Hani pada awal Februari meruapkan fakta baru kematian Mirna. Namun, hal itu bakal hanya disampaikan di pengadilan.
Jessica, yang pada mulanya hanya berstatus sebagai saksi, akhirnya ditetapkan menjadi tersangka pada Jumat, 29 Januari. Sehari setelahnya, ia ditangkap di Hotel Neo Mangga Dua, Jakarta Utara. Dari keterangan polisi, Jessica belum memberi pengakuan apa pun seputar kasus ini.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyatakan penyidik Polda Metro Jaya masih memiliki banyak waktu untuk melengkapi berkas penyidikan terhadap perkara kematian Wayan Mirna Salihin.
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI, Waluyo, keleluasaan itu berdasar atas kewenangan penyidik untuk melakukan penambahan masa penahanan terhadap tersangka pembunuh Mirna, Jessica Kumala Wongso, untuk kepentingan penyidikan.
"Kalau belum selesai pemberkasan, masa penahanan Jessica bisa diperpanjang 20 hari ke Kejaksaan. Tapi ada pengecualian jika hukuman minimalnya sembilan tahun, itu bisa diperpanjang 60 hari lagi ke Pengadilan Negeri," ujar Waluyo dikutip CNN Indonesia (8/2).
Dalam kasus pembunuhan Mirna, Jessica disangka melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan Berencana dan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Dengan Sengaja dengan ancaman maksimal hukuman mati atau 20 tahun penjara.


Dan akhirnya , Jessica kumala wongso dikenakan sebuah pasal pembunuhan berencana, sebagai berikut:
JAKARTA, KOMPAS.com - Polda Metro Jaya menerapkan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana kepada Jessica Kumala Wongso (27), tersangka kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin.

Berapa ancaman hukuman pidana bagi Jessica dengan dikenakannya pasal tersebut? Pakar Hukum Pidana Ganjar Laksamana Bondan mengatakan, ancaman hukuman maksimal untuk pasal 340 KUHP bagi yang dikenakan adalah hukuman mati.

"Kalau maksimalnya sampai hukuman mati, atau seumur hidup," kata Ganjar saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (30/1/2016).

Adapun dalam KUHP, Pasal 340 soal pembunuhan berencana berbunyi ; "Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun."

Namun, keputusan soal hukuman ini tergantung apakah hakim pada pengadilan nanti memberikan keringanan hukuman atau tidak. "Kalau putusan sampai inkrah mati, ya enggak bisa dikurangi," ujar Ganjar.

Ganjar melanjutkan, dengan menerapkan pasal 340 KUHP polisi menurutnya perlu hati-hati. Pasal pembunuhan berencana menurutnya bukan kasus yang mudah.

"Lebih rumit dari 338 KUHP pembunuhan biasa. Jadi harus dibuktikan rencananya. Bukan tiba-tiba ada racun masuk, orang mati. Kalau dibilang rencana, ya bagaimana dia membawa racun, menyiapkan tempatnya, belinya dari mana," ujar Ganjar.

Padahal, hingga saat ini polisi belum mengungkap bagaimana tersangka melakukan rencana pembunuhannya.

Penahanan

Soal perlu tidaknya seseorang ditahan, Ganjar mengatakan undang-undang telah mengaturnya. "Oleh undang-undang disebutkan secara tegas, bahwa penahanan itu dilakukan dalam hal ada kekhawatiran yang nyata, bahwa pelaku akan mengulangi perbuatannya, bahwa pelaku akan menghilangkan barang bukti, bahwa pelaku akan melarikan diri," ujar Ganjar.

Dirinya menggaris bawahi soal kekhawatiran nyata ini. Ia mempertanyakan apakah Jessica memang perlu ditahan atau tidak bagi penyidik.

"Kalau Jessica mau lari, dari kemarin-kemarin dia lari, sebelum dicekal dan jadi tersangka. Kalau ada kekhawatiran menghilangkan barang bukti, kan polisi sudah sisir sana, sisir sini, geledah sana sini, masa ada barang bukti yang masih berceceran. Apalagi yang mau dia (Jessica) hilangkan?" ujarnya.

"Semuanya sudah dipungut (polisi) kok. Di TKP di rumahnya sudah diambil semua. Dan lagi pula kalau sudah berani menetapkan tersangka, masa masih ada barang bukti yang berceceran? Yang benar aja," ujarnya.

Namun, Ganjar tak mau menilai apakah Jessica perlu ditahan atau tidak. "Saya enggak mau bilang Jessica perlu ditahan atau enggak. Tapi hati-hati menetapkan tersangka karena kasus ini susah-susah gampang, banyakan susahnya dari pada gampang. Kalau bagi saya pribadi masih banyak tanda tanyanya," ujar Ganjar.

Ia pun berpendapat bahwa polisi boleh saja menyelesaikan kasus ini dalam waktu yang lebih lama. "Kalau polisi butuh waktu lebih lama lagi, secara hukum saya paham," ujar pengacara hukum pidana Universitas Indonesia itu.

ANALISIS KASUS MIRNA- JESSICA
 
Berdasarkan pemberitaan yang heboh akhir-akhir ini mengenai kasus pembunuhan Mirna oleh Jessica Kumala Wongso yang sedang marak diberitakan oleh media massa seluruh negeri, maka penulis tertarik untuk mengkritisi pemberitaan dari media berdasarkan berbagai sudut pandang, terutama sudut padang etika pers/jurnalistik. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi tentunya harus bisa mengkritisi dan mencerdasi setiap pemberitaan yang tengah hangat dikalangan masyarakat yang disebarluaskan melalui media cetak, elektronik maupun media online.
Kilas balik kasus Wayan Mirna Salihin yang meninggal dunia usai meneguk es kopi Vietnam bercampur zat sianida di cafe Oliver, Grand Indonesia Mall, Jakarta Pusat pada 6 Januari 2016. Saat peristiwa itu terjadi, di meja yang sama mereka tengah menikmati minuman , Mirna ditemani oleh kedua temannya Jessica Kumala Wongso dan Hanie Juwita Boon. Mereka adalah teman sekampus lulusan tahun 2008 di Billy Blue College of Design, Sidney, Australia. (Demikian penjabaran kasus yang penulis kutip dari salah satu portal berita online).
Sudah dalam tiga minggu ini kasus Mirna menjadi sangat heboh diberitakan disemua media massa baik televisi, koran dan bahkan paling heboh di media online , para netizen yang juga ikutan menjadi penyelidik layaknya polisi/detektif menerka-nerka motif dibalik kasus pembunuhan tersebut, namun dibalik semua itu, televisi swasta nasional mulai gila-gilaan memberitakan kasus ini tak henti-hentinya sehingga kasus ini menjadi kasus terpopuler dan headline diberbagai media massa.
Yang paling menarik dari pemberitaan kasus pembunuhan Mirna yang semakin heboh semenjak Jessica Kumala Wongso dinyatakan sebagai tersangka oleh kepolisian pada 29 Januari 2016 yang lalu. Media massa yang berlomba-lomba juga untuk mengulik kasus kematian akibat kopi maut tersebut dan tak ketinggalan acara Talkshow ILC (Indonesia Lawyers Club) di TVOne, sehingga berdasarkan berita yang penulis kutip dari wowkeren.com pada 04 Februari 2016 bahwa rating ILC tembus 15 besar mengalahkan sinetron-sinetron SCTV, yang bahkan sebelumnya ILC jarang  tembus 50 besar. ILC menduduki posisi 14 dengan rating 1,8% share 8,5%.
Berdasarkan data tersebut dapat kita lihat betapa besar pengaruh sebuah pemberitaan terhadap media yang memberitakan dan juga dampaknya terhadap masyarakat terutama “mindset” atau pola pikir.
Dari segi Etika Pers atau Hukum Penyiaran banyak televisi yang sudah tidak lagi mengutamakan tayangan yang sehat dan mendidik masyarakat, mereka lebih terfokus pada bagaimana menayangkan sesuatu yang menjual dan akan menebar sensasi yang akan menyebabkan mereka meraih rating yang tinggi dan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari setiap tayangan yang mereka siarkan, seperti kasus beberapa stasiun televisi (TVOne, TVRI, MetroTV,Inews TV, dan Indosiar) yang sering ditegur KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) terkait tayangan yang tidak layak dan melanggar kode etik jurnalistik seperti kasus Bom Sarinah yang lalu, dan masih banyak kasus lainnya.
Kredibilitas suatu media penyiaran saat ini sudah tidak lagi diperhatikan, sehingga membutuhkan filter yang kokoh dari masyarakat yang cerdas dalam menanggapi seluruh tayangan yang diberitakan media massa baik cetak maupun elektronik.
Terkait kasus Mirna yang sangat heboh dibicarakan saat ini, juga merupakan setting mindset dari media itu sendiri, bagaimana kasus demi kasus begitu dibeberkan dengan diulik sedemikian rupa sehingga merajai pemberitaan hingga berminggu-minggu, hal ini sangat ironis sebenarnya, mengingat kasus ini adalah kasus pertama yang pernah terjadi di Indonesia dengan segala keunikannya wajar saja jika sampai seheboh ini, namun sangat tidak cerdas jika masalah seperti terus-menerus dibahas seolah-olah tidak ada pemberitaan yang lebih layak dan penting untuk ditayangkan dan lebih mendidik masyarakat.
Indonesia juga terkenal memiliki media yang sangat pintar dalam mengalihkan isu-isu, seperti isu mengenai Freeport yang teralihkan oleh jor-jorannya kasus BOM Sarinah , serta setelah itu kasus Kematian Mirna inipun muncul dan mengalahkan kasus-kasus penting lainnya.
Diakui atau tidak diakui ini pengalihan isu tetapi buktinya isu nya memang teralihkan dengan pemberitaan yang seakan-akan sangat penting sekali diketahui oleh masyarakat, padahal ini secara tidak langsung dapat mengajarkan kepada masyarakat awam bahwa kerusakan moral masyarakat Indonesia sudah semakin parah, dengan adanya motif pembunuhan terbaru memakai Sianida tersebut. Bisa saja pelaku kejahatan justru terinspirasi dengan kasus ini sehingga tidak menutup kemungkinan akan muncul kasus-kasus baru nantinya.
Ditambah lagi dengan pemberitaan yang sangat mengekspos berlebihan mengenai korban maupun tersangaka (Mirna Salihin dan Jessica) , sehingga hak-hak perlindungan korban maupun hak privasi tersangka dilanggar, banyak media yang mengekspos data keluarga Jessica dan juga data pribadi Mirna yang sesungguhnya tidak perlu dibeberkan kepada masyarakat umum, ditambah dengan pembulian yang dilakukan terhadap keluarga tersangka yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi keluarga yang bersangkutan.
Sebelumnya media jarang sekali mengekspos kasus dari masyarakat biasa, selama ini bisa dilihat kasus besar justru keluar dari tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pula, baru kali ini berita seperti sangat hangat dan besar-besaran sekali, mungkin karena ini sebuah fenomena pembunuhan yang unik dan langka, jadi secara konten kasus ini sangat “menjual”.
Media harusnya secara cerdas dan berhati nurani dalam menyajikan pemberitaan, karena dengan satu pemberitaan saja media bisa saja menjadi tolak ukur sikap bagi masyarakat, kemampuan media dalam mem-framing (membingkai) suatu pemberitaan akan mampu mempengaruhi segala sikap dan pemikiran masyarakat, dan juga agenda setting yang bisa mengkonstruksi setiap  pola pikir dan perilaku.
Kasus Mirna yang sebelum Jessica dinyatakan sebagai tersangka sangat terlihat begitu memojokkan Jessica, meskipun Jessica akhirnya terbukti bersalah, namun sebelum divonis di pengadilan tidak seharusnya ada berita-berita yang bersifat menuduh, karena masyarakat akan langsung tergiring opininya bahwa Jessica sudah menjadi pembunuh, padahal belum divonis, saat ini sudah di vonis juga masyarakat malah penasaran bahkan diinternet muncul meme-meme tentang Jessica dan Mirna, hal ini tidak baik karena konten yang seperti ini sangat tidak mendidik generasi.
Kasus yang lebih penting untuk diberitakan justru diredam disaat ada kasus-kasus yang lebih sensasional, media memilih berita yang akan segera disenangi jika itu kasus yang panas tidak peduli bagaimana filter terhadap kontennya, tidak dipungkiri bahwa media terutama swasta memang mengejar rating namun bukan dengan cara yang seperti ini, jika semua media massa konsumsi publik di negara ini terus-menerus seperti ini maka diperlukan masyarakat Indonesia yang cerdas , memiliki filterasi media yang baik dan bisa mengkritisi dengan bijak setiap pemberitaan yang ada, jangan mudah untuk terpengaruh dan menelan mentah-mentah terhadap apa yang disajikan.
Dan peer bagi Komisi Penyiaran Indonesia juga semakin berat, perlu tindakan hukum yang tegas untuk menindak segala bentuk pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan penyiaran di Indonesia, masih banyak undang-undang yang masih perlu direvisi dan ditegakkan hukum yang tegas, apalagi undang-undang ITE karena semua yang ada diinternet bisa diunggah oleh siapapun dan bisa dibaca oleh seluruh masyarakat, harus ada hukum tegas dan undang-undang yang mengatur, terutama portal berita online yang sudah semakin banyak dan masih diragukan kredibilitasnya.
Mari dukung gerakan Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab ^_^

Komentar

  1. Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
    Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer